Nama :
Arifin Panigoro
Lahir:
Bandung, 14 Maret 1945
Agama:
Islam
Isteri:
Raisis A Panigoro
Anak:
Maera Hanafiah
Yaser Mairi
Pendidikan:
Lulusan Jurusan Elektro, Institut Teknologi Bandung, 1973
Mengikuti Senior Executive Programme Institute of Business Administration di
Fountainebleau, Prancis yang dikoordinir oleh Kadin, 1979
Pengalaman Kerja :
:: PT Meta Epsi Duta Corporation (Komisaris Utama), sejak 1989
:: PT Inti Persada Multi Graha (Presiden Direktur), sejak 1994
:: PT Meta energi Petrasanga (Komisaris), sejak 1994
:: PT Energi Patranagari (Komisaris), sejak 1994
:: PT Apexindo Pratama Duta (Komisaris) sejak 1987
:: PT Citra Panji Manunggal (Komisaris Utama) sejak 1987
:: PT Meta Epsi Engineering (Komisaris Utama) sejak 1983
:: PT Meta Epsi Antareja Drilling Co.(Komisaris Utama) sejak 1983
:: PT Bina Karya Pariwisindo (Komisaris) sejak 1981
:: PT Meta Epsi Sarana Graha (Presiden Komisaris) sejak 1994
:: PT Meta Epsi Agro (Komisaris) sejak 1994
Jabatan Politik:
Ketua Fraksi PDI-P MPR RI 2002-2003
Organisasi :
:: Yayasan Padamu Negeri (Ketua Umum) 1991-sekarang,
:: Ikatan Alumni Elektro ITB (Ketua I ) 1989-sekarang,
:: Persatuan Insinyur Indonesia (Ketua Umum) 1994
:: Ketua DPP PDI-Perjuangan 1999
Alamat Rumah:
Jalan Jenggala, Kebayoran Baru
Arifin Panigoro
Simbol
Kebangkitan Politik Pengusaha
Sebelum Orde Baru tumbang tahun 1998, nama Arifin Panigoro hanya dikenal
kalangan terbatas sebagai pengusaha di bidang perminyakan. Lingkaran
pergaulannya lebih banyak dengan Pertamina dan pengusaha perminyakan
internasional. Namun, ketika reformasi tengan “hamil tua” yang ditandai dengan
maraknya aksi demonstrasi mahasiswa, kesadaran politik Arifin bangkit. Ia telah
menjadi simbol kebangkitan politik pengusaha.
Tidak hanya itu, ia turut serta secara aktif membantu pergerakan mahasiswa,
termasuk menyiapkan nasi bungkus untuk dikirim kepada mahasiswa yang tengah
menggelar aksi di Gedung DPR Senayan, Jakarta.
Alumni Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1973 ini memulai usahanya
tidak langsung menjadi bos di Meta Epsi Drilling Company (Medco). Sebelum tahun 1980-an, awalnya ia cuma
sebagai kontraktor instalasi listrik door to door. Selanjutnya memulai proyek
pemasangan pipa secara kecil-kecilan. Begitu ada proyek yang berdiameter besar,
hal itu bukan porsi pengusaha lokal, melainkan pengusaha asing. Jadi, setiap Pertamina
melakukan tender untuk pemasangan pipa besar, maka perusahaan asing yang menang
karena untuk pipeline butuh peralatan berat. Peralatan itu umumnya hanya
dimiliki oleh perusahaan asing.
Kondisi itu membuatnya berpikir, sebaiknya pengusaha lokal pun diberi
kesempatan atau dibantu untuk bisa menangani pemasangan pipa besar dan tidak
hanya diberi pekerjaan yang kecil-kecil. Tahun 1981 ia memberanikan diri untuk
mulai masuk proyek pipanisasi yang berdiameter besar. Untuk pekerjaan itu, ia
bekerja sama dengan perusahaan asing. Deal-nya, bila satu proyek selesai, bagi
hasilnya adalah peralatan itu. Mitra setuju, proyek pun selesai. Sejak itu
dengan alat tersebut ia mencari proyek ke mana-mana.
Selain menggandeng mitra asing, dukungan dan proteksi dari pemerintah amat
diperlukan. Tidak mungkin pengusaha lokal yang baru berdiri dan tidak memiliki
pengalaman dapat tiba-tiba bersaing dengan perusahaan asing yang berpengalaman
di bidang perminyakan selama puluhan tahun. Menggandeng mitra luar dan dukungan
pemerintah itu merupakan cara pengusaha lokal bisa membuka pintu ke bidang
bisnis yang lebih luas. Dengan begitu, persaingan dengan perusahaan asing bisa
dilakukan.
Semuanya dimulai dari tahapan membiasakan pengusaha lokal mengerjakan proyek
besar. Contoh yang dialaminya dengan bendera usaha Medco tejadi pada tahun
1979-1980 ketika terjadi oil boom, Sekretariat Negara mengambil inisiatif untuk
membangun kilang minyak karena ada tambahan anggaran. Pada saat itu, pemerintah
berkeinginan untuk menyelipkan unsur pembinaan bagi pengusaha lokal, termasuk
Medco. Saat itu, dalam pembangunan Kilang Cilacap, Medco dikawinkan dengan satu
perusahaan asal Amerika Serikat. Akhirnya, Medco yang tidak tahu apa-apa tentang
pemasangan pipa, menjadi mengerti.
Demikian juga saat memulai usaha pengeboran minyak tahun 1981, juga tak lepas
dari bantuan pemerintah. Menurut Arifin, tahun itulah titik awal Medco menjadi
besar. Pada waktu itu, ia memiliki kedekatan dengan Dirjen Migas Wiharso yang
menginginkan ada pengusaha lokal dalam proyek jasa pengeboran. Kebetulan ada
penyertaan modal pemerintah ke Pertamina, yang mau melakukan pengeboran gas di
Sumatera Selatan.
Pemerintah mendorongnya untuk ikut tender, meskipun tidak punya peralatan
ngebor. Pemerintah memanggil perusahaan asing yang berpeluang menang diminta
untuk menyewakan alat, atau memakai orang-orang Medco sebagai mitra. Tujuan
pemerintah waktu itu adalah untuk membesarkan pengusaha lokal. Namun, tanggapan
dari perusahaan asing itu membuat Pak Wiharso tersingung dan batal. Lalu Pak
Wiharso memintanya menggarap proyek itu sendirian. Arifin sama sekali tidak
percaya dengan keputusan itu karena ia tidak memiliki pengalaman melakukan
pengeboran.
Hasilnya, ia kelabakan karena proyek yang ditenderkan tahun 1979 sudah harus
mulai dikerjakan pada tahun 1980. Dengan perasaan yakin, ia pun terima
tantangan itu. Tahap awal ia instruksikan staf yang memiliki kemampuan bahasa
Inggris untuk menjajaki pusat penjualan peralatan pengeboran di AS. Baru
setelah ada kepastian dan diketahui harganya, ia terbang dari Jakarta ke
Houston, AS. Perjalanan itu merupakan pengalaman pertamanya ke AS. Bermodal
"bahasa Inggris Tarzan" dan uang 300.000 dollar AS, ia melakukan deal
dengan pemilik barang. Hasilnya,
deal berangsung buruk.
Penjual barang meminta dalam waktu dua minggu barang seharga 4 juta dollar AS
sudah dibayar, kalau tidak maka uang muka 300.000 dollar AS hangus. Ia terpaksa menerima
syarat itu karena posisi tawarnya yang jelek. Setelah itu ia langsung terbang
ke Indonesia. Saking panjangnya perjalanan dengan tiket ekonomi, tiba di
Indonesia langsung sakit. Namun, dengan kondisi yang berat ia berusaha menemui
Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, lalu ke Pertamina.
Cara itu merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan karena ia masih
merupakan pengusaha "bayi". Beruntung, Pak Piet Haryono dan Pak
Wiharso memberikan rekomendasi, Medco patut dibantu. Dana pun cair di ambang
batas perjanjian. Proyek pun bisa berjalan sesuai waktu yang ditentukan
pemerintah.
Terhadap bantuan yang diberikan pemerintah itu, Arifin menilai sangat positif
agar pengusaha lokal mampu bersaing. Namun, tetap harus dilakukan secara betul
karena kalau tidak bisa, jadi salah arah. Di sinilah sulitnya, kadang proteksi
itu memberikan hasil yang sebaliknya. Mumpung dikasih proteksi, pengusaha malah
menjadi manja.
Setelah merintis usaha tahun 80-an, Medco memulai kejayaannya pada tahun 1990.
Sebelum tahun 1990 Medco selalu bekerja sama dengan pihak ketiga dan untuk
masuk ke sana bukan hanya masalah konsistensi ketekunan dan normatif, tetapi
juga urusan garis tangan sebagai penentu. Sebab, untuk memburu satu sumur
minyak bukan urusan ribuan dollar AS, tetapi jutaan dollar AS dan itu pun belum
tentu ketemu minyaknya.
Namun, keinginan untuk bisa mandiri tetap ada, maka tahun 1990 untuk pertama
kali Arifin membeli sumur minyak di Tarakan, Kalimantan Timur, seharga 13 juta
dollar AS. Ladang itu mampu berproduksi 4.000 barrel per hari (bph). Tahun
1995, beli lagi sumur minyak tertua PT Stanvac Indonesia milik ExxonMobil, yang
sampai saat ini total produksi yang dimiliki Medco mencapai 80.000 bph.
Barangkali inilah prestasi paling gemilang dari Arifin dan perusahaannya, Meta
Epsi Drilling Company (Medco). Pembelian Stanvac dimenangkan melalui tender
yang kemudian namanya diubah menjadi Expan. Dengan pembelian itu, PT Stanvac
tidak lagi dikuasai orang asing sebab perusahaan minyak tertua di Indonesia itu
sudah dimiliki sepenuhnya oleh Medco.
Keberhasilan itu konon karena ada unsur tekanan dari pemerintah. Atas isu
tersebut, Arifin membeberkan bahwa ia membeli perusahaan minyak itu melalui
tender intemasional. Untuk bertemu langsung dengan orangnya saja tidak bisa.
Baru setelah selesai pembelian, mereka bisa benar-benar bertemu. Ia membelinya
secara langsung. Waktu itu cadangannya cuma 20 juta. Kemudian tahun 1996
produksi digenjot. Hasilnya, satu lapangan saja bisa mendapatkan 320 juta barel
minyak.
Sukses di bidang perminyakan
ternyata membuat Arifin berpikir lain masih dalam sektor tambang. Kenapa orang lokal tidak
bisa berjaya di gas, seperti halnya di minyak. Padahal Indonesia kan salah satu produsen gas terbesar di
dunia dan banyak industri yang berteriak kekurangan gas? Pernyaan inilah yang
kerap membuatnya gundah. Jika kita lihat pada satu sisi, Indonesia
menempati posisi nomor satu di dunia dalam ekspor LNG karena cadangan gas jauh
lebih banyak dari minyak. Kini, cadangan sudah mencapai 170 triliun kaki kubik
(TCF). Jika cadangan itu diproduksi, sampai 50 tahun pun tidak akan habis.
Gas itu ada di luar Pulau Jawa, tetapi tetap harus harus dibawa ke Pulau Jawa
karena berapa pun harganya tetap menarik. Misalnya PLN, jika membeli gas
harganya hanya 3 dollar per million metric british thermal unit (MMBTU) sudah
sangat mewah. Namun, kalau disetarakan dengan BBM sama dengan 18 dollar AS per
barrel. Harga itu sangat murah dibandingkan harga BBM yang harus dibayar PLN
sebesar 30 dollar AS per barrel.
Namun, kembali lagi, kenapa gas tidak ada di Pulau Jawa, ini masalah kebijakan
pemerintah. Jadi, mestinya Bappenas atau Menteri bidang Ekuin sama memikirkan,
apakah terus bergantung minyak yang harganya 30 dollar AS per barrel. Medco
menjual ke Pusri 1,8 dollar AS ditambah ongkos pipa 0,5 sen dollar, sudah bisa
untung.
Inilah yang ia anggap kebijakan itu keliru. Demikian juga proyek yang dibangun
oleh PT Perusahaan Gas Negara, yang berhasil menyambung pipa gas ke Singapura,
setelah itu membangun pipa ke Pulau Jawa adalah kebijakan yang salah. Gas di
Sumsel sebenarnya tak banyak lagi, jadi seharusnya dibawa ke Jawa saja. Tetapi,
barangkali pemeritah memiliki pertimbangan harga di Singapura yang barangkali
lebih baik.
Sukses di
dunia bisnis membuatnya ikut berpetualang ke dunia politik. Awalnya ia
melakukan pertemuan di Hotel Radisson Yogyakarta tahun 1997. Sebenarnya itu
adalah pertemuan atau diskusi biasa. Namun, efeknya luar biasa, khususnya buat
Arifin. Ia dituduh berupaya menggagalkan Sidang Umum MPR yang akan mengesahkan
Soeharto menjadi Presiden ketujuh kalinya.
Ketika aksi mahasiswa semakin memanas, Arifin memberi bantuan konsumsi kepada
para demonstran yang melakukan aksi di Gedung DPR. Ribuan kotak makanan
dikirim. Tak heran jika kemudian muncul opini bahwa Arifin adalah tokoh di
belakang aksi atau cukong para mahasiswa. Namun, Arifin tahu bahwa ia tidak
sendiri. Gerakan reformasi merupakan suratan untuk memperbaiki keadaan.
Cobaan terhadap langkahnya di dunia politik masih berlanjut. Di era Presiden BJ
Habibie, Arifin Panigoro kembali dijerat dengan tuduhan pidana korupsi
penyalahgunaan commercial paper senilai lebih dari Rp 1,8 triliun. Pada waktu
itu, sejumlah kalangan percaya dijeratnya Arifin karena kedekatannya dengan
gerakan mahasiswa. Bahkan pada masa pemerintahan Megawati, Arifin kembali
dicoba untuk dijerat lewat perkara di kejaksaan. Sejak awal, dirinya yakin
hanya dikerjain karena masih banyak pihak yang tidak senang dengan aktivitas
politik yang digeluti.
Pengalamannya sebagai pengusaha membuat dia tidak kaget dengan praktik politik
karena di dalamnya ada aktivitas melobi atau menggarap, juga money politics.
Baginya, hari-hari uang adalah urusannya. Dari permulaan bekerja sebagai
pengusaha, ia tidak pernah buat kesepakatan dengan fasilitas yang diperolehnya.
Demikian juga dengan urusan politik yang juga bagian dari kompromi lintas
fraksi, kesepakatan semua kekuatan. Hal-hal begitu tidak selalu pakai uang,
cukup pengertian bahwa kita punya sesuatu yang lebih besar, mari kita jalani
sama-sama. Namun, perjalanan tidak selalu mulus, godaan banyak. Apalagi
kekuatan politik sekarang sesudah zaman Soeharto, relatif pemainnya baru semua.
Meskipun terbiasa bermain dengan uang, namun Arifin mengaku memiliki batasan
dalam memainkan uangnya. Sayangnya, proses politik atau proses pengambilan
keputusan politik, ternyata uang yang berbicara. Padahal, meskipun ia seorang
pebisnis, tetapi ia mau bisnis tanpa uang. Meskipun ia mengaku, cara bisnisnya
memang tidak sebersih di AS. Di
negara itu, mentraktir makan di atas 100 dollar AS sudah termasuk kategori
sogokan. Ia tidak begitu amat, tetapi mendambakan good government and corporate
governance, supaya bisa membuat bangsa ini ke depan lebih baik.
Ia berhitung, hari ini, uang dihabiskan untuk apa saja. Ia mau menghitung
berapa total uang yang dikeluarkan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia , yang
akan membebani APBD setiap daerah. Jangan lupa, itu uang rakyat dari pajak.
Kalau pemimpinnya main, tentu menggelembungkan dana proyek, tentu bawahan juga
ikut ambil bagian. Dengan demikian korupsi akibat kedudukan bisa menimbulkan
efek berantai, jika dana diselewengkan Rp 1 triliun, uang rakyat yang bakal
hilang sekitar Rp 10 triliun untuk pemilihan kepala daerah.
Perkenalannya lebih mendalam dengan dunia politik adalah ketika partai-partai
baru bermunculan tahun 1998-1999 setelah lengsernya Soeharto dari kursi
presiden. Pada awalnya, Arifin menjalin hubungan dengan berbagai tokoh politik,
baik tokoh masyarakat yan sudah lama dikenal maupun tokoh yang baru muncul.
Saat deklarasi partai baru dilangsungkan, Arifin kerap menghadirinya. Namun,
akhirnya pilihannya jatuh ke PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati
Soekarnoputri. Bersama PDIP, Arifin pun melenggang menuju Senayan sebagai
anggota DPR/MPR.
Untuk kategori pemain baru di dunia politik, sebenarnya karir politik Arifin
terbilang bagus. Ia bisa duduk di jajaran DPP partai peraih suara terbanyak
dalam pemilu. Ia pernah memimpin lintas fraksi, juga menjadi Ketua Fraksi PDIP MPR.
Namun, dunia politik memang seperti cuaca yang cepat berubah. Arifin yang kerap
dikenal sebagai anak “indekos” di partai berlambang banteng merah gemuk itu
dianggap sudah kurang loyal kepada partainya dan mulai memihak lawan partai
politiknya bernaung.
Arifin Panigoro yang dulu dianggap sebagai inspirator pembangunan jalan mulus
Presiden Megawati menuju kursi kepresidenan, kini dianggap sebagai anak yang
nakal. Isu pun merebak bahwa Arifin bakal dipecat. Namun, hingga saat ini, isu
tersebut tidak berbuah menjadi kenyataan.
Terhadap isu tersebut, ia berpendapat kalau dirinya dikeluarkan, sepertinya ia
harus membuat acara perpisahan dengan teman-teman. Tetapi, sebetulnya ia sudah
memikirkan untuk keluar. Menurutnya, kalau dikeluarkan dirinya akan lebih
senang. Seperti orang kerja, kalau berhenti tidak dapat pesangon, kalau
diberhentikan malah dapat pesangon.
Meskipun siap untuk keluar, namun mengenai masa depan politiknya masih belum
jelas, dan ia sendiri masih belum bisa mengira-ngira ke mana akan berlabuh. Hal
itu terjadi karena dari tahun 1998 ia termasuk non-partisan, meskipun
belakangan bergabung ke partai. Awalnya, ia datang pada setiap acara peresmian
partai baru, sampai akhirnya bergabung dengan PDIP.
Arifin menganggap dirinya sebagai seorang oportunis yang iseng-iseng. Atau ia
hanya ingin ada lima tahun periode yang lain, tidak hanya menjadi seorang
pengusaha.Tetapi yang pasti, hematnya, konyol jika berhenti lalu serta-merta
melawan PDIP, apalagi mau menggulingkan Megawati.
Jika benar-benar mundur dari dunia politik, kemungkinan ia akan relaksasi dan
bermain golf di Paris atau mencari sekolah khusus untuk mereka yang sudah
berumur di kota yang mempunyai makanan yang enak-enak. Mungkin enam bulan
istirahat dulu.
Ia juga termasuk orang yang
respek terhadap cendekiawan muslim Noercholish Madjid (Cak Nur). Menurutnya, Cak Nur itu
bukan politikus, tetapi berminat jadi presiden. Ketika pertama kali
mengemukakan minatnya jadi presiden Arifin termasuk orang yang awal-awal
mendatangi dan bertanya, ternyata jawabannya memang mau. Pikirnya, siapa pun
ini, dia dari unsur yang berbeda dibandingkan politikus yang lain. Dengan demikian bisa menjadi ukuran moral,
sebab moral juga harus terukur. Paling tidak, politikus ada malu-malu sedikit.
Jadi, pencalonan Cak Nur, sebenarnya dapat meningkatkan kualitas pertandingan.
Mengenai
kehidupan keluarganya, suami dari Raisis A Panigoro cukup bahagia. Anak-anaknya
sudah besar, bahkan yang tertua Maera Hanafiah sudah menikah dan sebentar lagi
dikarunia anak kedua. Adapun yang bungsu Yaser Mairi sedang menambah pendidikan
di Singapura pada bidang IT. Sekarang, meskipun agak telat, ia sadar, kalau
dirinya kurang memberikan perhatian kepada anak-anak, karena jam kerja yang
ngawur. Sekarang, sejak sekolah di luar negeri, anak-anaknya seakan-akan lupa
dengan orang tua.
Meskipun anak-anak itu bersekolah di luar negeri, namun tidak ada yang secara
khusus disiapkan menggantikannya. Anak pertamanya seorang ibu rumah tangga,
anak kedua tidak dipersiapkan untuk itu. Prinsipnya, Medco bukan perusahaan
keluarga, jadi sebaiknya dijalankan oleh profesional. Kebetulan, adiknya orang
minyak. Jadi, Hilmi Panigoro duduk Medco.
Ia juga tidak akan memaksakan anak-anak untuk meneruskan usaha orang tuanya.
Jika kapasitasnya sudah dipenuhi, silakan saja kalau mau meneruskan. Ia mengaku
tidak takut jika perusahaannya dipegang oleh orang lain, toh semua aset,
cadangan tidak ke mana-mana.
Meskipun kini sudah menjadi "raja minyak", suami dari Raisis A
Panigoro ini mengaku, kaya itu relatif. Dia mengaku tak pernah menghitung,
apakah dirinya kaya atau tidak, sebab semua hidup yang dijalani terus
menggelinding. Baginya, disebut kaya itu relatif, kalau di Indonesia, seperti
dirinya memang sudah menonjol. Sebagai orang yang beberapa kali dicekal untuk
bepergian ke luar negeri, ia pun bertanya untuk apa kekayaan itu.
Sebagai orang yang romantis, ia mengaku merasa benar-benar kaya, kalau berada
dalam satu konser musik yang benar-benar disukai. Seperti saat ini, setelah
bisa menikmati alunan gamelan Jawa, maka setiap mendengar musik Jawa itu
sebelum tidur, dia merasa kaya. Jadi, baginya kaya cukup sederhana, bukan harta
melimpah atau kekuasaan.
Arifin juga sadar, suatu saat akan pensiun sebagai orang perminyakan. Namun,
tidak berarti ia akan berdiam diri. Ia merencanakan untuk memfokuskan ke Medco
yang lain yaitu di bidang agrobisnis. Sekarang ini orang sedang banyak bicara
tentang pertanian. Masalah minyak goreng yang masih kurang kelapa sawitnya.
Mungkin itu adalah salah satu pelabuhan yang akan ditujunya kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar