Mayoritas kaum muslimin
menilai bahwa menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah sesuatu yang sulit dan
membingungkan. Kesulitan ini terpulang kepada banyak hal. Di antaranya karena
kurangnya informasi tentang Syi’ah. Syi’ah menurut mayoritas kaum muslimin adalah
eksistensi yang tidak jelas. Tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana ia
berkembang, tidak melihat bagaimana masa lalunya, dan tidak dapat diprediksi
bagaimana di kemudian hari. Berangkat dari sini, sangat banyak di antara kaum
muslimin yang meyakini Syi’ah tak lain hanyalah salah satu mazhab Islam,
seperti mazhab Syafi’i, Maliki dan sejenisnya
.
Ia tidak memandang bahwa
perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah bukan pada masalah furu’ (parsial) saja,
akan tetapi banyak juga menyinggung masalah ushul (fundamental).
Hal lain yang menyulitkan
untuk menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah; bahwa mayoritas kaum muslimin
tidak bersikap realistis dan praktis. Mereka sekedar berangan-angan dan
berharap tanpa mengkaji…
Dengan bahasa yang sok
logis, sebagian kaum muslimin mengatakan: “Lho, mengapa harus terjadi
perselisihan? Ayolah kita duduk bersama dan melupakan perselisihan di antara
kita… yang Sunni meletakkan tangannya di atas yang Syi’i dan berjalan
sama-sama. Toh kita semua juga beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari
kiamat?”
Orang ini lalai bahwa
masalah yang sesungguhnya jauh lebih rumit dari ini…
Sebagai contoh, orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir namun menghalalkan khamr (miras) atau zina
misalnya, hukumnya kafir. Menghalalkan maksudnya memandang bahwa hal tersebut
boleh-boleh saja, dan mengingkari pengharamannya dalam Al Qur’an atau Sunnah
Nabi.
Nah berangkat dari asumsi
ini, kita akan melihat hal-hal yang sangat berbahaya dalam sejarah kaum Syi’ah,
yang mengharuskan para ulama Islam untuk merenung kembali dan menentukan sudut
pandang Islam terhadap bid’ah-bid’ah kaum Syi’ah yang demikian besar.
Hal lain yang turut
merumitkan masalah ini adalah; banyaknya luka Islam di mayoritas negeri kaum
muslimin, di samping banyaknya yang memusuhi mereka dari kalangan Yahudi,
Nasrani, kaum salibis, komunis, Hindu dan sebagainya.
Dari sini, sebagian mereka
yang ‘intelek’ memandang agar kita jangan membuka front permusuhan baru. Hal
ini bisa saja dibenarkan jika front tersebut mulanya tertutup lalu kita
berusaha membukanya. Namun jika sejak semula telah terbuka lebar dan serangan mereka
datang siang dan malam, maka mendiamkan hal tersebut berarti suatu kehinaan…
Kita tidak perlu lagi
mengulang pertanyaan yang sering dilontarkan kebanyakan orang: “Apakah mereka
(Syi’ah) lebih berbahaya dari Yahudi?”
Sebab hakikat dari
pertanyaan ini adalah untuk membungkam lisan mereka yang sadar akan penderitaan
umat, sekaligus membikin kikuk mereka yang berusaha menjaga dan melindungi kaum
muslimin.
Saya akan menyanggah mereka
dan mengatakan kepada mereka: “Memang apa salahnya kalau umat Islam menghadapi
dua bahaya yang mengintai secara bersamaan? Apakah muslimin Ahlussunnah yang
mencari-cari alasan untuk menyerang Syi’ah, ataukah realita di lapangan
membuktikan berulang kali bahwa merekalah yang memulai serangan?”
Kita menyaksikan gencarnya
serangan Syi’ah terhadap umat Islam, dan saya rasa realita kita saat ini tak
jauh berbeda dengan masa lampau. Bahkan saya bersaksi bahwa sejarah akan
mengulangi dirinya, dan generasi muda akan mewarisi dendam kesumat nenek moyang
mereka.
Tak ada kebaikan sedikit
pun yang bisa diharapkan dari kelompok yang menganggap bahwa 99% sahabat Nabi
adalah bejat, mengingat hal itu merupakan pengingkaran yang nyata akan sabda
Rasulullah e:
“خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي”
“Sebaik-baik generasi
adalah generasiku.” (HR. Bukhari no 3451 dan Muslim no 2533)
Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lainnya.
Realita Syi’ah –dari dulu
sampai sekarang- adalah amat sangat menyakitkan…
Mari kita tengok kembali
beberapa masalah yang akan menjadikan visi kita lebih jelas, sehingga dapat
membantu kita untuk menentukan sikap paling tepat yang mesti kita ambil
terhadap Syi’ah; lalu kita tahu: lebih baik bicara ataukah diam saja!
PERTAMA:
Semua orang tahu bahwa
sikap Syi’ah terhadap para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai
dari Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar Al Faruq, Utsman Dzin Nuurain, lalu
isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama Aisyah radhiallahu
‘anha hingga para sahabat secara umum, sebagaimana yang dinyatakan
terang-terangan oleh referensi dan narasumber mereka yang telah mereka yakini;
adalah bahwa para sahabat tadi adalah orang-orang fasik dan murtad. Mayoritas
mereka telah sesat dan berusaha menyembunyikan serta menyelewengkan ajaran
Islam.
Dari sini apakah kita harus
mengawasi dan diam saja ‘demi menghindari fitnah’?
Fitnah apakah yang lebih
besar dari pada menuduh generasi teladan sebagai masyarakat ‘bejat dan
pendusta’?!?
Marilah kita merenungi
sama-sama perkataan bijak salah seorang sahabat yang bernama Jabir bin Abdillah
radhiallahu ‘anhu:
“إذا لَعَنَ آخرُ هذه
الأمَّة أوَّلها، فَمَنْ كان عنده علمٌ فليظْهره، فإنَّ كاتم ذلك ككاتم ما أُنزل
على محمدٍ صلى الله عليه وسلم”.
“Bila umat Islam di akhir
zaman mulai melaknat pendahulunya, maka siapa saja yang berilmu hendaklah
menunjukkan ilmunya. Bila ia menyembunyikan, maka ia seperti yang
menyembunyikan ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Nisbat riwayat
ini kepada Nabi sanadnya dha’if, namun riwayat ini adalah dari perkataan Jabir
bin Abdillah)
Bisakah Anda menangkap
kedalaman makna ucapan ini?
Hujatan terhadap generasi
sahabat bukan sekedar hujatan terhadap mereka yang telah tiada… tidak juga
seperti ucapan sebagian orang bahwa: “Hujatan tersebut tidak berbahaya bagi
para sahabat, karena mereka telah masuk Surga meski Syi’ah tidak suka.” Akan tetapi
bahaya besar di balik ucapan ini ialah karena hujatan terhadap para sahabat
pada hakikatnya adalah hujatan terhadap Islam secara langsung. Sebab kita tidak
mendapatkan ajaran Islam kecuali melalui para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Kalau berbagai hujatan yang
menimbulkan keraguan akan akhlak, niat, dan perbuatan para sahabat dibiarkan;
lantas agama model apa yang akan kita anut?
Hilanglah agama kita kalau
kita terima semua itu… hilanglah hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan ajaran beliau.
Justeru kita bertanya
kepada Syi’ah: “Al Qur’an apa yang kalian baca sekarang? Bukankah yang
menyampaikannya adalah mayoritas sahabat yang kalian hujat? Bukankah yang
berjasa mengumpulkannya adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu, yang
kalian anggap berbuat licik untuk menjadi khalifah? Lantas mengapa ia tidak
merubah-rubah Al Qur’an sebagaimana merubah-rubah Sunnah menurut tuduhan
kalian?”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:
“عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المهديين مِنْ بَعْدِي”.
“Kalian wajib berpegang
teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat
hidayah sepeninggalku.” (HR. Tirmidzi no 2676, Ibnu Majah no 42 dan Ahmad no
17184)
Jadi, Sunnah Khulafa’ur
Rasyidien adalah bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Hukum dan sikap yang
diputuskan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali adalah hujjah (dalil) bagi
setiap muslim, kapan, di mana pun, dan sampai hari kiamat… lantas bagaimana mungkin
hujatan terhadap mereka kita biarkan?!
Sebab itulah, ulama-ulama
kita yang mulia demikian berang bila mendengar ada orang yang berani menghujat
sahabat. Imam Ahmad bin Hambal misalnya, beliau pernah mengatakan:
إذا رأيت أحدًا يذكر أصحاب
رسول الله صلى الله عليه وسلم بسوءٍ، فاتهمه على الإسلام
“Kalau engkau mendapati
seseorang berani menyebut para sahabat dengan tidak baik, maka tuduhlah dia
sebagai musuh Islam.” (Ash Sharimul Maslul ‘ala Syaatimir Rasul 3/1058 oleh
Ibnu Taimiyyah)
Al Qadhi Abu Ya’la (salah
seorang fuqaha mazhab Hambali) mengatakan: “Para fuqaha sepakat bahwa orang
yang mencaci-maki para sahabat tak lepas dari dua kondisi: kalau dia
menghalalkan hal tersebut maka dianggap kafir, namun jika tidak menghalalkannya
maka dianggap fasik (bejat)” (Ibid, 3/1061)
Abu Zur’ah Ar Razi (salah
seorang pakar hadits yang wafat th 264 H) mengatakan:
“إذا رأيتَ الرجلَ ينتقص من
أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، فاعلم أنّه زنديق”
“Kalau engkau mendapati
seseorang mengkritik sahabat Nabi saw, maka ketahuilah bahwa dia itu Zindiq
(munafik).” (Al Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal 49 oleh Al Khatib Al Baghdadi)
Sedangkan Ibnu Taimiyyah
berkata: “Barang siapa menganggap bahwa para sahabat telah murtad sepeninggal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali segelintir orang yang
jumlahnya tak sampai belasan orang, atau menganggap fasik (bejat) mayoritas
sahabat; maka orang ini kekafirannya tidak diragukan lagi.” (Ash Sharimul
Maslul 3/1110 oleh Ibnu Taimiyyah)
Sikap yang keras terhadap
para penghujat sahabat ini, tak lain adalah karena para sahabatlah yang
menyampaikan agama ini kepada kita. Kalau salah seorang dari sahabat dihujat,
berarti Islam jadi meragukan. Mengingat banyaknya pujian yang Allah berikan kepada
mereka dalam Al Qur’an, maupun dalam Sunnah Nabi-Nya, jelaslah bahwa orang yang
menghujat para sahabat berarti mendustakan ayat-ayat dan hadits yang cukup
banyak tadi.
Mungkin ada yang berkata:
“Lho, kami tidak pernah mendengar si Fulan dan si Fulan yang Syi’ah itu
menghujat para sahabat?”
Kepada mereka, kami ingin
agar memperhatikan poin-poin berikut:
Pertama: Kaum Syi’ah Itsna
Asyariyah pada dasarnya meyakini bahwa para sahabat telah bersekongkol melawan
Ali bin Abi Thalib, Ahlul Bait, dan Imam-imam yang diyakini oleh mereka.
Intinya, tidak ada seorang Syi’i pun (baik di Iran, Irak, maupun Lebanon) melainkan
ia meyakini kefasikan para sahabat. Sebab jika mereka menganggap para sahabat
adalah orang shalih, hancurlah rukun iman mereka sebagai Syi’ah. Jadi, telah
menjadi suatu keniscayaan pabila setiap orang Syi’ah baik pejabat, ulama,
maupun rakyat jelata untuk bersikap tidak hormat kepada para sahabat, dan tidak
menerima agama yang mereka bawa dalam bentuk apa pun.
Kedua: Tokoh-tokoh Syi’ah
senantiasa mengelak untuk menampakkan kebencian mereka kepada para sahabat,
meski terkadang nampak juga dalam sebagian statemen atau perilaku mereka,
sebagaimana firman Allah:
لَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي
لَحْنِ الْقَوْلِ
“Dan kamu benar-benar akan
mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.” (Qs Muhammad: 30)
Banyak di antara kita yang
menyaksikan debat antara DR. Yusuf Al Qardhawi dengan Rafsanjani (mantan
presiden Iran) di TV Al Jazeera. Kita sama-sama menyaksikan bagaiman Rafsanjani
selalu mengelak dari setiap usaha DR. Qardhawi agar ia menyebut sahabat dan
ummahatul mukminin (isteri-isteri Nabi) dengan baik.
Dan ketika Khamenei
(pemimpin Revolusi Iran sekarang) ditanya tentang hukum mencaci-maki para
sahabat, dia tidak mengatakan bahwa hal itu keliru atau haram. Namun ia
menjawab secara dusta dengan berkata: “Semua perkataan yang mengakibatkan
perpecahan di antara kaum muslimin pasti diharamkan dalam syari’at.” Intinya,
haramnya mencaci-maki sahabat menurutnya ialah karena hal itu menimbulkan
perselisihan di antara kaum muslimin, bukan karena haram menurut syari’at,
sebagaimana yang dilansir oleh koran Al Ahraam Mesir tanggal 23 November 2006.
Ketiga: Kita harus waspasa
terhadap akidah ‘taqiyyah’ (bermuka dua) yang menurut syi’ah adalah sembilan
persepuluh dari agama mereka. Artinya, mereka biasa mengatakan perkataan yang
bertentangan dengan keyakinan mereka selama mereka belum berkuasa. Namun
setelah berkuasa mereka akan menampakkan jati dirinya terang-terangan.
Dalam sejarah Syi’ah, kita
menyaksikan bahwa tatkala mereka menguasai beberapa wilayah Daulah Abbasiyah
yang Sunni di Irak, Mesir, Afrika Utara (Maghrib) dan semisalnya; mereka
langsung terang-terangan menghujat para sahabat, dan menjadikan hal itu sebagai
pokok agama mereka.
Jadi, jelaslah bagi kita
dari sini akan pentingnya menjelaskan hakikat Syi’ah terhadap para sahabat yang
mulia. Kalau tidak, maka orang yang menyembunyikan kebenaran ini ibarat
syaithan yang bisu, dan sikap ini akan mengakibatkan kehancuran Islam
Mayoritas kaum muslimin
menilai bahwa menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah sesuatu yang sulit dan
membingungkan. Kesulitan ini terpulang kepada banyak hal. Di antaranya karena
kurangnya informasi tentang Syi’ah. Syi’ah menurut mayoritas kaum muslimin adalah
eksistensi yang tidak jelas. Tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana ia
berkembang, tidak melihat bagaimana masa lalunya, dan tidak dapat diprediksi
bagaimana di kemudian hari. Berangkat dari sini, sangat banyak di antara kaum
muslimin yang meyakini Syi’ah tak lain hanyalah salah satu mazhab Islam,
seperti mazhab Syafi’i, Maliki dan sejenisnya
.
Ia tidak memandang bahwa
perbedaan antara Sunnah dan Syi’ah bukan pada masalah furu’ (parsial) saja,
akan tetapi banyak juga menyinggung masalah ushul (fundamental).
Hal lain yang menyulitkan
untuk menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah; bahwa mayoritas kaum muslimin
tidak bersikap realistis dan praktis. Mereka sekedar berangan-angan dan
berharap tanpa mengkaji…
Dengan bahasa yang sok
logis, sebagian kaum muslimin mengatakan: “Lho, mengapa harus terjadi
perselisihan? Ayolah kita duduk bersama dan melupakan perselisihan di antara
kita… yang Sunni meletakkan tangannya di atas yang Syi’i dan berjalan
sama-sama. Toh kita semua juga beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan hari
kiamat?”
Orang ini lalai bahwa
masalah yang sesungguhnya jauh lebih rumit dari ini…
Sebagai contoh, orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir namun menghalalkan khamr (miras) atau zina
misalnya, hukumnya kafir. Menghalalkan maksudnya memandang bahwa hal tersebut
boleh-boleh saja, dan mengingkari pengharamannya dalam Al Qur’an atau Sunnah
Nabi.
Nah berangkat dari asumsi
ini, kita akan melihat hal-hal yang sangat berbahaya dalam sejarah kaum Syi’ah,
yang mengharuskan para ulama Islam untuk merenung kembali dan menentukan sudut
pandang Islam terhadap bid’ah-bid’ah kaum Syi’ah yang demikian besar.
Hal lain yang turut
merumitkan masalah ini adalah; banyaknya luka Islam di mayoritas negeri kaum
muslimin, di samping banyaknya yang memusuhi mereka dari kalangan Yahudi,
Nasrani, kaum salibis, komunis, Hindu dan sebagainya.
Dari sini, sebagian mereka
yang ‘intelek’ memandang agar kita jangan membuka front permusuhan baru. Hal
ini bisa saja dibenarkan jika front tersebut mulanya tertutup lalu kita
berusaha membukanya. Namun jika sejak semula telah terbuka lebar dan serangan mereka
datang siang dan malam, maka mendiamkan hal tersebut berarti suatu kehinaan…
Kita tidak perlu lagi
mengulang pertanyaan yang sering dilontarkan kebanyakan orang: “Apakah mereka
(Syi’ah) lebih berbahaya dari Yahudi?”
Sebab hakikat dari
pertanyaan ini adalah untuk membungkam lisan mereka yang sadar akan penderitaan
umat, sekaligus membikin kikuk mereka yang berusaha menjaga dan melindungi kaum
muslimin.
Saya akan menyanggah mereka
dan mengatakan kepada mereka: “Memang apa salahnya kalau umat Islam menghadapi
dua bahaya yang mengintai secara bersamaan? Apakah muslimin Ahlussunnah yang
mencari-cari alasan untuk menyerang Syi’ah, ataukah realita di lapangan
membuktikan berulang kali bahwa merekalah yang memulai serangan?”
Kita menyaksikan gencarnya
serangan Syi’ah terhadap umat Islam, dan saya rasa realita kita saat ini tak
jauh berbeda dengan masa lampau. Bahkan saya bersaksi bahwa sejarah akan
mengulangi dirinya, dan generasi muda akan mewarisi dendam kesumat nenek moyang
mereka.
Tak ada kebaikan sedikit
pun yang bisa diharapkan dari kelompok yang menganggap bahwa 99% sahabat Nabi
adalah bejat, mengingat hal itu merupakan pengingkaran yang nyata akan sabda
Rasulullah e:
“خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي”
“Sebaik-baik generasi
adalah generasiku.” (HR. Bukhari no 3451 dan Muslim no 2533)
Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lainnya.
Realita Syi’ah –dari dulu
sampai sekarang- adalah amat sangat menyakitkan…
Mari kita tengok kembali
beberapa masalah yang akan menjadikan visi kita lebih jelas, sehingga dapat
membantu kita untuk menentukan sikap paling tepat yang mesti kita ambil
terhadap Syi’ah; lalu kita tahu: lebih baik bicara ataukah diam saja!
PERTAMA:
Semua orang tahu bahwa
sikap Syi’ah terhadap para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai
dari Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar Al Faruq, Utsman Dzin Nuurain, lalu
isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama Aisyah radhiallahu
‘anha hingga para sahabat secara umum, sebagaimana yang dinyatakan
terang-terangan oleh referensi dan narasumber mereka yang telah mereka yakini;
adalah bahwa para sahabat tadi adalah orang-orang fasik dan murtad. Mayoritas
mereka telah sesat dan berusaha menyembunyikan serta menyelewengkan ajaran
Islam.
Dari sini apakah kita harus
mengawasi dan diam saja ‘demi menghindari fitnah’?
Fitnah apakah yang lebih
besar dari pada menuduh generasi teladan sebagai masyarakat ‘bejat dan
pendusta’?!?
Marilah kita merenungi
sama-sama perkataan bijak salah seorang sahabat yang bernama Jabir bin Abdillah
radhiallahu ‘anhu:
“إذا لَعَنَ آخرُ هذه
الأمَّة أوَّلها، فَمَنْ كان عنده علمٌ فليظْهره، فإنَّ كاتم ذلك ككاتم ما أُنزل
على محمدٍ صلى الله عليه وسلم”.
“Bila umat Islam di akhir
zaman mulai melaknat pendahulunya, maka siapa saja yang berilmu hendaklah
menunjukkan ilmunya. Bila ia menyembunyikan, maka ia seperti yang
menyembunyikan ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Nisbat riwayat
ini kepada Nabi sanadnya dha’if, namun riwayat ini adalah dari perkataan Jabir
bin Abdillah)
Bisakah Anda menangkap
kedalaman makna ucapan ini?
Hujatan terhadap generasi
sahabat bukan sekedar hujatan terhadap mereka yang telah tiada… tidak juga
seperti ucapan sebagian orang bahwa: “Hujatan tersebut tidak berbahaya bagi
para sahabat, karena mereka telah masuk Surga meski Syi’ah tidak suka.” Akan tetapi
bahaya besar di balik ucapan ini ialah karena hujatan terhadap para sahabat
pada hakikatnya adalah hujatan terhadap Islam secara langsung. Sebab kita tidak
mendapatkan ajaran Islam kecuali melalui para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Kalau berbagai hujatan yang
menimbulkan keraguan akan akhlak, niat, dan perbuatan para sahabat dibiarkan;
lantas agama model apa yang akan kita anut?
Hilanglah agama kita kalau
kita terima semua itu… hilanglah hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan ajaran beliau.
Justeru kita bertanya
kepada Syi’ah: “Al Qur’an apa yang kalian baca sekarang? Bukankah yang
menyampaikannya adalah mayoritas sahabat yang kalian hujat? Bukankah yang
berjasa mengumpulkannya adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu, yang
kalian anggap berbuat licik untuk menjadi khalifah? Lantas mengapa ia tidak
merubah-rubah Al Qur’an sebagaimana merubah-rubah Sunnah menurut tuduhan
kalian?”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:
“عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المهديين مِنْ بَعْدِي”.
“Kalian wajib berpegang
teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat
hidayah sepeninggalku.” (HR. Tirmidzi no 2676, Ibnu Majah no 42 dan Ahmad no
17184)
Jadi, Sunnah Khulafa’ur
Rasyidien adalah bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Hukum dan sikap yang
diputuskan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali adalah hujjah (dalil) bagi
setiap muslim, kapan, di mana pun, dan sampai hari kiamat… lantas bagaimana mungkin
hujatan terhadap mereka kita biarkan?!
Sebab itulah, ulama-ulama
kita yang mulia demikian berang bila mendengar ada orang yang berani menghujat
sahabat. Imam Ahmad bin Hambal misalnya, beliau pernah mengatakan:
إذا رأيت أحدًا يذكر أصحاب
رسول الله صلى الله عليه وسلم بسوءٍ، فاتهمه على الإسلام
“Kalau engkau mendapati
seseorang berani menyebut para sahabat dengan tidak baik, maka tuduhlah dia
sebagai musuh Islam.” (Ash Sharimul Maslul ‘ala Syaatimir Rasul 3/1058 oleh
Ibnu Taimiyyah)
Al Qadhi Abu Ya’la (salah
seorang fuqaha mazhab Hambali) mengatakan: “Para fuqaha sepakat bahwa orang
yang mencaci-maki para sahabat tak lepas dari dua kondisi: kalau dia
menghalalkan hal tersebut maka dianggap kafir, namun jika tidak menghalalkannya
maka dianggap fasik (bejat)” (Ibid, 3/1061)
Abu Zur’ah Ar Razi (salah
seorang pakar hadits yang wafat th 264 H) mengatakan:
“إذا رأيتَ الرجلَ ينتقص من
أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، فاعلم أنّه زنديق”
“Kalau engkau mendapati
seseorang mengkritik sahabat Nabi saw, maka ketahuilah bahwa dia itu Zindiq
(munafik).” (Al Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal 49 oleh Al Khatib Al Baghdadi)
Sedangkan Ibnu Taimiyyah
berkata: “Barang siapa menganggap bahwa para sahabat telah murtad sepeninggal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali segelintir orang yang
jumlahnya tak sampai belasan orang, atau menganggap fasik (bejat) mayoritas
sahabat; maka orang ini kekafirannya tidak diragukan lagi.” (Ash Sharimul
Maslul 3/1110 oleh Ibnu Taimiyyah)
Sikap yang keras terhadap
para penghujat sahabat ini, tak lain adalah karena para sahabatlah yang
menyampaikan agama ini kepada kita. Kalau salah seorang dari sahabat dihujat,
berarti Islam jadi meragukan. Mengingat banyaknya pujian yang Allah berikan kepada
mereka dalam Al Qur’an, maupun dalam Sunnah Nabi-Nya, jelaslah bahwa orang yang
menghujat para sahabat berarti mendustakan ayat-ayat dan hadits yang cukup
banyak tadi.
Mungkin ada yang berkata:
“Lho, kami tidak pernah mendengar si Fulan dan si Fulan yang Syi’ah itu
menghujat para sahabat?”
Kepada mereka, kami ingin
agar memperhatikan poin-poin berikut:
Pertama: Kaum Syi’ah Itsna
Asyariyah pada dasarnya meyakini bahwa para sahabat telah bersekongkol melawan
Ali bin Abi Thalib, Ahlul Bait, dan Imam-imam yang diyakini oleh mereka.
Intinya, tidak ada seorang Syi’i pun (baik di Iran, Irak, maupun Lebanon) melainkan
ia meyakini kefasikan para sahabat. Sebab jika mereka menganggap para sahabat
adalah orang shalih, hancurlah rukun iman mereka sebagai Syi’ah. Jadi, telah
menjadi suatu keniscayaan pabila setiap orang Syi’ah baik pejabat, ulama,
maupun rakyat jelata untuk bersikap tidak hormat kepada para sahabat, dan tidak
menerima agama yang mereka bawa dalam bentuk apa pun.
Kedua: Tokoh-tokoh Syi’ah
senantiasa mengelak untuk menampakkan kebencian mereka kepada para sahabat,
meski terkadang nampak juga dalam sebagian statemen atau perilaku mereka,
sebagaimana firman Allah:
لَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي
لَحْنِ الْقَوْلِ
“Dan kamu benar-benar akan
mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.” (Qs Muhammad: 30)
Banyak di antara kita yang
menyaksikan debat antara DR. Yusuf Al Qardhawi dengan Rafsanjani (mantan
presiden Iran) di TV Al Jazeera. Kita sama-sama menyaksikan bagaiman Rafsanjani
selalu mengelak dari setiap usaha DR. Qardhawi agar ia menyebut sahabat dan
ummahatul mukminin (isteri-isteri Nabi) dengan baik.
Dan ketika Khamenei
(pemimpin Revolusi Iran sekarang) ditanya tentang hukum mencaci-maki para
sahabat, dia tidak mengatakan bahwa hal itu keliru atau haram. Namun ia
menjawab secara dusta dengan berkata: “Semua perkataan yang mengakibatkan
perpecahan di antara kaum muslimin pasti diharamkan dalam syari’at.” Intinya,
haramnya mencaci-maki sahabat menurutnya ialah karena hal itu menimbulkan
perselisihan di antara kaum muslimin, bukan karena haram menurut syari’at,
sebagaimana yang dilansir oleh koran Al Ahraam Mesir tanggal 23 November 2006.
Ketiga: Kita harus waspasa
terhadap akidah ‘taqiyyah’ (bermuka dua) yang menurut syi’ah adalah sembilan
persepuluh dari agama mereka. Artinya, mereka biasa mengatakan perkataan yang
bertentangan dengan keyakinan mereka selama mereka belum berkuasa. Namun
setelah berkuasa mereka akan menampakkan jati dirinya terang-terangan.
Dalam sejarah Syi’ah, kita
menyaksikan bahwa tatkala mereka menguasai beberapa wilayah Daulah Abbasiyah
yang Sunni di Irak, Mesir, Afrika Utara (Maghrib) dan semisalnya; mereka
langsung terang-terangan menghujat para sahabat, dan menjadikan hal itu sebagai
pokok agama mereka.
Jadi, jelaslah bagi kita
dari sini akan pentingnya menjelaskan hakikat Syi’ah terhadap para sahabat yang
mulia. Kalau tidak, maka orang yang menyembunyikan kebenaran ini ibarat
syaithan yang bisu, dan sikap ini akan mengakibatkan kehancuran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar