Akal dalam
pandangan Islam diletakkan pada tempat yang layak, tidak meninggikannya hingga
menjadi sesuatu yang dipertuhankan, tetapi juga tidak direndahkan atau
dihinakan hingga penyandangnya tidak ubahnya seperti hewan.[1] Menurut Syaikh
Ali bin Hasan Al-Halaby Al-Atsary, Islam telah menunjukkan beberapa fenomena
penghormatan terhadap akal; diantaranya dalam menegakkan dakwah kepada iman
berdasrkan kepuasan akal. Dalam hal ini Islam mengarahkan untuk berpikir dan
mengamati. Maka, perhatikanlah firman Allah berikut :
أَفَلاَ يَتَدَبّرُونَ
الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً
كَثِيراً
“Maka
apakah mereka tidak memeperhatikan Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di
dalamnya” (QS. An-Nisaa’ : 82).
Islam juga
menantang akal manusia agar mendatangkan kitab semisal Al-Qur’an. Diharapkan
dengan ketidakmampuan akal manusia untuk mendatangkan kitab semisal Al-Qur’an,
manusia mau mengakui bahwa Al-Qur’an benar-benar datang dari sisi Allah.
فَلْيَأْتُواْ بِحَدِيثٍ
مّثْلِهِ إِن كَانُواْ صَادِقِينَ
“Maka
hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur’an itu jika mereka
orang-orang yang benar” (QS. Ath-Thuur : 34).
Selain
itu, akal juga diarahkan untuk memikirkan makhluk-makhluk Allah (QS. Aali Imarn
: 191; Ar-Ruum : 8), untuk memikirkan syari’at Allah (QS. Al-Baqarah : 179,
184; dan Al-Jumu’ah : 9), untuk mengamati umat-umat terdahulu dan mengapa
mereka durhaka (QS. Al-An’am : 6 dan 11); dan juga diarahkan agar akal manusia
mau memikirkan kejadian-kejadian alam dan kehidupan sekitarnya (QS. Al-Kahfi :
45).[2]
Allah
ta’ala berfirman :
أَوَلَمْ يَتَفَكّرُواْ فِيَ
أَنفُسِهِمْ مّا خَلَقَ اللّهُ السّمَاوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَآ إِلاّ
بِالْحَقّ وَأَجَلٍ مّسَمّى وَإِنّ كَثِيراً مّنَ النّاسِ بِلِقَآءِ رَبّهِمْ
لَكَافِرُونَ
“Dan
mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya melainkan dengan
(tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di
antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Rabb-nya” QS. Ar-Ruum :
8).
Fenomena
lainnya dalam menghormati akal, Islam tidak pernah memaksakan kehendak, tidak
memaksakan rasio seseorang untuk beriman. Namun diberikan kebebasan kepadanya
untuk memilih iman atau kufur (QS. Al-Baqarah : 256, Al-Kahfi : 29,
Al-Ghasyiyyah : 21-22).[3] Bukti lain penghormatan kepada akal adalah adanya
celaan kepada Muqallidiin (orang-orang yang taqlid), adanya perintah untuk
senantiasa belajar, adanya ijtihad, adanya perintah untuk memelihara akal dan
larangan untuk merusaknya.[4] Semua itu menunjukkan betapa Islam begitu
menghormati akal.
Meski
penghormatan Islam terhadap akal sedemikian besar, bukan berarti seseorang
lantas semaunya menggunakan akalnya. Islam tidak menghendaki, karena semaunya
mempergunakan akal, seseorang lantas diperbudak oleh akalnya sendiri. Hingga,
tiap masalah dihadapi hanya dengan kekuatan akalnya. Terlebih dalam masalah
yang berkaitan dengan agama. Contoh kasuistik yang telah begitu lekat dalam
perjalanan sejarah Islam dalam masalah dominasi akal adalah aliran Mu’tazillah
dan Neo-Mu’tazillah sebagai pewaris leluhurnya di masa sekarang. Kelompok satu
ini berprinsip, bahwa naql (wahyu/nash) tidak boleh bertentangan dengan akal.
Oleh karena itu, setiap masalah syari’at bisa dicerna oleh akal. Dan jika ada
suatu nash yang nampak (menurut mereka) bertentangan dengan akal, niscaya
mereka akan menolaknya atau mena’wilkannya (dengan ta’wil-ta’wil bathil)
sehingga selaras dengan akalnya. Pola pikir semacam inilah yang akhirnya
menjungkir-balikkan nash-nash yang telah dipahami dan diyakini oleh para
salaful-ummah dulu. Dari pola pemahaman demikian, lantas lahir beragam ta’wil,
yang pada hakikatnya menafikkan sifat-sifat Allah, nikmat dan adzab qunur,
surga dan neraka, qadar Allah, dan sebagainya.
Khusus
berkenaan dengan pertentangan antara wahyu dan akal, dinyatakan oleh Syaikh Ali
Al-Halaby, bahwa mereka yang mempertentangkan keduanya adalah akibat dari dua
kebodohan yang besar. Yaitu, kebodohan terhadap wahyu dan kebodohan terhadap
rasio. Tentang kebodohan terhadap wahyu, karena sang penentang tidak memahami
kandungan wahyu dan apa yang ditunjukkannya. Dia memahami wahyu dengan
pemahaman yang berbeda dengan kebenaran yang ditunjukkan atau dikehendaki oleh
wahyu itu sendiri. Lalu, dia menentang terhadap apa yang ditunjukkan oleh wahyu
dengan berdasar hanya kepada akalnya semata. Sedangkan tentang bodohnya dia
terhadap akal/rasio, hal demikian tidak bosa digambarkan, bahwasannya akal yang
shalih menentang wahyu. Namun, orang-orang jahil (bodoh) mengira bahwa hal itu
merupakan syubuhaat ‘aqliyyah.[5]
Adapun
ahlu salaf, dalam menyikapi masalah nash dan akal, akan senantiasa mendahulukan
nash. Menurut Syaikh Ali Al-Halaby, As-Salafush-Shalih berpegang pada pegangan
yang kokoh, bahwa agama merupakan inqiyaad (ketundukan) dan taslim
(kepasrahan), tanpa menolak yang sifatnya dipaksa akal. Sebenarnya, akallah
yang mendorong seseorang untuk menerima As-Sunnah. Sedangkan yang mendorong
untuk mengingkari As-Sunnah adalah kebodohan, bukan akal.[6]
As-Salafush-Shalih menghadapi suatu nash, khususnya yang berkenaan
dengan masalah aqidah, tanpa melalui perbincangan panjang lebar atau
menggunakan akal yang dipaksakan. Tetapi cukup dengan mengimaninya dan
membenarkannya. Memperbincangkan dengan tanpa landasan yang benar, apalagi
hanya sekedar dengan akal, tak akan membawa faedah. Maka tatkala Imam Malik
ditanya tentang kaifiyah (cara) istiwaa’ Allah dalam ayat : الرّحْمَـَنُ عَلَى
الْعَرْشِ اسْتَوَىَ (”(Yaitu)Allah Yang Maha Pemurah Yang
bersemayam di atas ‘Arsy” – QS.
Thhahaa : 4), maka beliau menjawab :
الإستواء غير مجهول والكيف
غير معقول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة
”Istiwa’
itu tidak asing lagi, dan kaifiyahnya tidak diketahui oleh akal. Beriman
kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah”.[7]
Demikianlah
sikap As-Salafush-Shalih yang patut menjadi teladan dalam mengimani ayat-ayat
Allah dan hadits shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Mudah-mudahan Allah ta’ala memberikan petunjuk kepada kita semua. Dan hanya
kepada Allah-lah segala urusan dikembalikan.
________________________________________
[1]
Majalah Al-Bayan nomor 6 halaman 38 dari judul makalah : Majaal Al-‘Aql
Al-Basyari wa Haajah Al-Basyar ila Ar-Risaalah oleh Dr. Sulaiman Al-‘Ayad.
Dinukil dari ‘Aqlaniyyuun Afrakh Al-Mu’tazillah Al-‘Ashriyyun oleh Syaikh Ali
bin Hasan Al-Halaby Al-Atsary halaman 22.
[2]
Aqlaniyyuun, halaman 23-26.
[3] ibid,
halaman 27.
[4] ibid,
halaman 28-30.
[5] ibid,
halaman 160.
[6] ibid,
halaman 196.
[7]
Al-‘Aqidah Al-Washithiyyah, oleh Ibnu Taimiyyah, Syarh Dr. Shalih bin Fauzan
Al-Fauzan, halaman 14.
Sumber : Ust.Sangadji EM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar