Nama
Dr. Mochtar Riady (Lie Mo Tie)
Lahir
Malang, Jawa Timur, 12 Mei 1929
Jabatan:
Pendiri Grup Lippo dan Universitas Pelita Harapan
Pendidikan
= The Eastern College, Chung Yang University, Nanking, RRC
= Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
= Doctor of Laws dari Golden Gate University, San Francisco, Amerika Serikat
Hobi
Baca Buku (al buku Peter Drucker dan Prof Freeman)
Kegiatan lain:
- Pembicara tamu di Universitas Harvard pertengahan 1984
- Wali Amanah Universitas Indonesia
Sumber:
Berbagai sumber, antara lain, Sinar Harapan 11 April 2003 dan
entrepreneur-university.com/new/tokoh. php?tokohID=6&aksi=detail
Dr. Mochtar Riady
Filsuf Bisnis Keuangan
Dia dijuluki sebagai The Magic Man of Bank Marketing. Chairman
Group Lippo ini dikenal sebagai seorang praktisi perbankan yang handal. Bahkan patut digelari
seorang filsuf bisnis jasa keuangan yang kaya ide dan solusi mengatasi masalah.
Seorang konglomerat yang visioner dan sarat dengan filosofi bisnis. Dia pantas
menjadi panutan bagi para pengusaha dan pelaku pasar serta siapa saja yang
ingin belajar dari pengalaman orang lain.
Dalam RUPS PT
Bank Lippo Tbk (LippoBank), Jumat 4 Maret 2005, Mochtar Riady mengundurkan dari
jabatan komisaris utama agar bisnis keluarga tersebut berubah menjadi entitas bisnis
kelembagaan yang sepenuhnya berjalan atas tuntutan profesionalisme. Pengunduran
ini menandai tidak adanya lagi keluarga Riady yang duduk jajaran pimpinan
LippoBank.
Mochtar Riady yang lahir di Malang, Jawa Timur 12 Mei 1929, setidaknya diakui
kehandalannya sebagai filsuf bisnis Grup Lippo yang didirikannya. Di Grup Lippo
ini, dia berhasil mengader James Tjahaya Riady (puteranya) dan Roy Edu Tirtadji
menjadi filsuf bisnis handal juga. James dan Roy telah siap mendampingi dan
melanjutkan visi bisnisnya. Mereka tampil sebagai filsuf dan pemikir sekaligus
panglima yang menentukan arah bisnis semua perusahaan yang bernaung di bawah
bendera Lippo, baik di masa tenang apalagi di masa sulit.
Masih ingat, ketika Bank Lippo
di goyang rumor kalah kliring pada November 1995? Mochtar, pemilik nama
Tionghoa, Lie Mo Tie, ini mampu mengatasinya dengan cepat. Dia laksana panglima
perang yang dengan cerdas dan cekatan memonitor setiap perkembangan lapangan
detik demi detik, serta memberikan instruksi-instruksi penting ke semua lini
jajaran di bawahnya. Rumor kalah kliring itu pun dienyahkan dan bendera Bank
Lippo pun makin berkibar.
Grup Lippo,
memiliki lebih dari 50 anak perusahaan. Karyawannya diperkirakan lebih dari 50
ribu orang. Aktivitas grup ini, selain di Indonesia, juga merambah di kawasan
Asia Pasifik, terutama di Hong Kong, Guang Zhou, Fujian dan Shanghai. Saat ini
Grup Lippo paling tidak memiliki 5 area bisnis utama.
Pertama, jasa keuangan yang meliputi perbankan, investasi, asuransi, sekuritas,
manajemen aset dan reksadana. Jasa keuangan ini adalah core bisnis Lippo. Dalam
bisnis keuangan ini, Lippo cukup konservatif. Sehingga bank ini selamat dari
guncangan krisis moneter, walaupun sempat digoyang isu kalah kliring (1995) dan
persoalan rekapitalisasi (1999). Perusahaan sekuritasnya, Lippo Securities,
juga memiliki reputasi yang cukup baik. Begitu pula di bidang investasi, yakni Lippo
Investment Management, Lippo Finance dan Lippo Financial. Juga jasa asuransi
dengan tiga perusahaan penting yaitu AIG Lippo (Lippo Insurance) dan Asuransi
Lippo ( Lippo General Insurance).
Kedua, properti dan urban development. Bisnis yang meliputi pembangunan kota satelit
terpadu, perumahan, kondominium, pusat hiburan dan perbelanjaan, perkantoran
dan kawasan industri. Lippo tidak hanya membangun perumahan, tetapi suatu kota
yang lengkap dengan berbagai infrastruktur. Di tiga kota yang telah dibangun,
yaitu Lippo Cikarang, Bekasi di timur Jakarta, Bukit Sentul, Bogor di selatan
Jakarta, dan Lippo Karawaci, Tangerang di barat Jakarta, para penghuni bisa
mengakses TV Cable sekaligus fasilitas internet.
Ketiga, pembangunan infrastruktur seperti pembangkit tenaga listrik, produksi
gas, distribusi, pembangunan jalan raya, pembangunan sarana air bersih, dan
prasarana komunikasi. Hampir semua bisnis ini dikonsentrasikan di luar negeri
dan dikontrol oleh kantor pusat Grup Lippo yang berbasis di Hong Kong, dipimpin
puteranya Stephen Riady. Aktivitas bisnisnya, antara lain, pembangunan jalan
tol di Guang Zhou, pembangunan kota baru Tati City di Provinci Fujian, Gedung
Perkantoran Plaza Lippo di Shanghai dan membangun kawasan perumahan elit dan
perkantoran di Hong Kong.
Keempat, bidang industri yang
meliputi industri komponen elektronik, komponen otomotif, industri semen,
porselen, batu bara dan gas bumi. Lippo Industries, memproduksi komponen
elektonik seperti kulkas dan AC merk Mitsubishi, serta komponen otomotif
memproduksi kabel persneling.
Kelima, bidang jasa-jasa yang meliputi teknologi informasi, bisnis ritel,
rekreasi, hiburan, hotel, rumah sakit, dan pendidikan. Ada beberapa hal yang kontroversi yang
dilakukan Mochtar dan James yang mendapat perhatian media massa . Pertama ketika ia membangun Rumah
Sakit untuk kelas atas di Lippo Karawaci. Untuk itu, Mochtar berani menggandeng
Gleneagles Hospital yang berbasis di Singapura.
”Dari pada orang-orang kaya kita pergi ke Singapura, kan lebih baik kita bawa saja Gleneagles ke
Indonesia.” kata Mochtar ketika Rumah Sakit itu diluncurkan.
Selain Rumah Sakit, ia juga mendirikan Sekolah Pelita Harapan. Sekolah ini
mendapat sorotan karena biayanya menggunakan dolar AS dan dinilai mahal untuk
saat itu. Tetapi para pendiri Lippo beranggapan bahwa pendidikan yang
disediakan oleh Sekolah Pelita Harapan adalah yang terbaik. Selain wajib
berbahasa Inggris, mereka memperoleh tambahan pendidikan ekstra kurikuler
seperti pelajaran musik, berkuda dan ilmu komputer. Guru-guru pun didatangkan
dari Amerika.
Di bisnis ritel, ketika Grup Lippo mengumumkan akhir 1996 membeli lebih dari 50
persen saham Matahari Putra Prima, perusahaan ritel terbesar yang dimiliki Hari
Darmawan, banyak orang terkejut. Namun itu merupakan strategi penting Lippo untuk masuk ke
dunia bisnis ritel. Supermal raksasa telah dibangun dan Matahari merupakan
salah satu penyewa terbesar. Selain Matahari, Wal Mart dan JC Penney juga turut
memeriahkan Lippo Supermal yang memiliki luas 210.000 meter persegi.
Sejarah Grup Lippo
Sejarah Grup Lippo bermula ketika Mochtar Riady yang memiliki nama Tionghoa,
Lie Mo Tie membeli sebagian saham di Bank Perniagaan Indonesia milik Haji
Hasyim Ning pada 1981. Waktu dibeli, aset bank milik keluarga Hasyim telah
merosot menjadi hanya sekitar Rp 16,3 miliar. Mochtar sendiri pada waktu itu
tengah menduduki posisi penting di Bank Central Asia, bank yang didirikan oleh
keluarga Liem Sioe Liong. Ia bergabung dengan BCA pada 1975 dengan meninggalkan
Bank Panin.
Di BCA Mochtar mendapatkan share sebesar 17,5 persen saham dan menjadi orang
kepercayaan Liem Sioe Liong. Aset BCA ketika Mochtar bergabung hanya Rp 12,8
miliar. Mochtar baru keluar dari BCA pada akhir 1990 dan ketika itu aset bank
tersebut sudah di atas Rp 5 triliun.
Bergabung dengan Hasyim Ning membuat ia bersemangat. Pada 1987, setelah ia
bergabung, aset Bank Perniagaan Indonesia melonjak naik lebih dari 1.500 persen
menjadi Rp 257,73 miliar. Hal
ini membuat kagum kalangan perbankan nasional. Ia pun dijuluki sebagai The
Magic Man of Bank Marketing. Dua tahun kemudian, pada 1989, bank ini melakukan
merger dengan Bank Umum Asia dan semenjak saat itu lahirlah Lippobank. Inilah
cikal bakal Grup Lippo.
Cita-Cita jadi Bankir
Jalan berliku ditempuhnya untuk mencapai cita-cita menjadi seorang bankir.
Mochtar Riady sudah bercita-cita menjadi seorang bankir di usia 10 tahun.
Ketika itu, anak dari pedagang batik, ini setiap hari berangkat sekolah selalu
melewati gedung megah kantor Nederlandsche Handels Bank (NHB) dan melihat para
pegawai bank itu berpakaian rapih serta selalu sibuk. Sejak itu, dia berharap saat
dewasa akan menjadi seorang bankir.
Belum cita-citanya terwujud, pada tahun 1947, Riady ditangkap oleh pemerintah
Belanda dan di buang ke Nanking, Cina. Lalu, di sana ia menggunakan kesempatan
kuliah filosofi di University of Nanking. Tapi akibat perang, Riady terpaksa
pergi ke Hongkong hingga tahun1950 dan kemudian kembali ke Indonesia.
Sekembali ke Indonesia, Riady masih sangat ingin mewujudkan cita-citanya
menjadi seorang bankir. Tapi ayahnya tidak mendukung. Karena menurut ayahnya,
profesi bankir hanya untuk orang kaya, sedangkan kondisi keluarga mereka saat
itu sangat miskin.
Pada tahun 1951, ia menikahi gadis pilihannya asal jember. Kemudian, mertuanya
memberinya tanggungjawab untuk mengurus sebuah toko kecil. Hanya dalam tempo
tiga tahun, dia berhasil memajukan toko tersebut menjadi yang terbesar di kota
Jember. Namun, keinginan menjadi seorang banker membuatnya kurang betah
mengurusi toko itu.
Pada tahun 1954,
dia pun memutuskan pergi ke Jakarta walaupun ditentang oleh keluarganya. Dia
berprinsip bahwa jika sebuah pohon ditanam di dalam pot atau di dalam rumah
tidak akan pernah tinggi, namun akan terjadi sebaliknya bila ditanam di sebuah
lahan yang luas. Dia merasa yakin akan dapat mewujudkan cita-cita menjadi
bankir di kota metropolitan, kendati saat itu tidak memiliki seorang kenalan
pun di Jakarta.
Mula-mula, dia bekerja di sebuah perusahaan komanditer di Jalan Hayam Wuruk
selama enam bulan. Kesempatan itu dia gunakan untuk mulai membuka relasi.
Kemudian ia bekerja pada seorang importer. Relasi pun mulai semakin banyak.
Pada saat bersamaan, ia pun bekerjasama dengan temannya untuk berbisnis kapal
kecil.
Dia belum juga bisa mewujudkan cita-citanya menjadi seorang bankir. Saat itu,
kepada para sahabat, ia selalu mengutarakan cita-citanya itu. Lalu suatu saat,
salah seorang temannya mengabari bahwa ada sebuah bank, Bank Kemakmuran, yang
lagi terkena masalah. Riady tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Walau belum
punya pengalaman sedikit pun, dia berhasil meyakinkan Andi Gappa, pemilik bank
yang bermasalah itu, sehingga ia pun ditunjuk menjadi direktur.
Bayangkan, seorang yang belum berpengalaman sehari pun di bank atau sebagai
akuntan, langsung diangkat menjadi direktur. Pada hari pertama sebagai direktur, Riady sangat
pusing melihat balance sheet. Dia tidak bisa membaca dan memahaminya. Tapi, dia
pura-pura mengerti di depan pegawai akunting. Lalu, sepanjang malam dia belajar
untuk memahami balance sheet tersebut, namun sia sia. Kemudian, dia minta
tolong kepada temannya yang bekerja di Standar Chartered Bank untuk
mengajarinya. Tetapi dia masih belum mengerti.
Begitu galau hati dan pikirannya. Bagaimana pun kepura-puraan itu, cepat atau
lambat, akan ketahuan juga. Akhirnya, dia berterus terang kepada para
pegawainya dan Andi Gappa, si pemilik bank. Tentu saja mereka sangat terkejut
mendengar pengakuan itu. Riady pun meminta diberi kesempatan mulai bekerja dari
dasar. Andi Gappa
menyetujuinya. Riady bekerja mulai dari bagian kliring, cash dan checking
account.
Dia menggunakan kesempatan itu bekerja sambil belajar dengan baik. Hanya dalam
satu bulan, ia pun mengerti tentang proses pembukuan. Dia pun membayar seorang
guru privat, yang mengajarinya akuntansi.
Setelah itu, dia pun menunjukkan kelebihan sebagai seorang bankir. Hanya dalam
setahun, Bank Kemakmuran mengalami banyak perbaikan dan tumbuh pesat. Setelah
bank itu tumbuh dengan sehat, pada tahun 1964, Riady pindah ke Bank Buana, di
sini dia juga mengukir berbagai kaeberhasilan. Ketika itu (1966), dia berhasil
menyelamatkan Bank Buana dari kesulitan. Saat itu Indonesia sedang mengalami masa krisis
akibat perubahan ekonomi secara makro.
Dia mengambil langkah jitu untuk menyelamatkan Bank Buana dari akrisis itu. Dia menurunkan suku bunga
dari 20 % menjadi 12 %. Padahal pada waktu itu semua bank beramai-ramai
menenaikkan suku bunganya. Karena suku bunga yang rendah tersebut, maka para
nasabah yang memiliki kredit yang belum lunas segera membayar kewajibannya. Di
sisi lain, banyak usahawan (debitur) yang ingin meminjam kendati diberi syarat
ketat terutama dalam hal jaminan. Dengan cara itu, Bank Buana menjadi sehat.
Sementara, saat itu ada beberapa bank yang bangkrut.
Nama Mochtar Riady pun mencuat, sebagai bankir bertangan dingin. Kemudian tahun
1971, dia pindah lagi ke Bank Panin yang merupakan gabungan dari Bank
Kemakmuran, Bank Industri Jaya dan Bank Industri Dagang Indonesia. Lalu tahun
1975, ia meninggalkan Bank Panin dan bergabung dengan BCA, bank yang didirikan
oleh keluarga Liem Sioe Liong. Di BCA, dia mendapatkan saham sebesar 17,5
persen dan menjadi seorang penentu kebijakan. Ketika Mochtar bergabung aset BCA
hanya Rp 12,8 miliar. Saat dia keluar dari BCA pada akhir 1990 aset bank
tersebut sudah di atas Rp 5 triliun.
Pada setiap bank, sentuhan
tangan Riady hampir selalu berbuah sukses. Dia mengaku memiliki filosofi
tersendiri yang disebut sebagai Lie Yi Lian Dje. Lie berarti ramah, Yi memiliki
karakter yang baik, Lian kejujuran dan Dje memiliki rasa malu. Selain itu, visi
dan pandangannya yang jauh ke depan ketangkasannya membaca situasi pasar dan
dengan segera pula menyikapinya, telah membuat namanya semakin disegani
kalangan perbankan.
Sementara,
untuk memperdalam dan mempertajam pengalamannya, dia pun menyempatkan diri
kuliah malam di Universitas Indonesia (UI). Di situ pula dia berkenalan dengan
beberapa pakar ekonomi seperti Emil Salim, Ali Wardhana dan lain-lain.
Tantangan Globalisasi
Sebagai seorang chairman yang memimpin puluhan CEO harus diakui bahwa Mochtar
Riady memiliki visi yang jauh ke depan. Pengetahuannya yang luas dan
pengalamannya telah membuat Grup Lippo selamat melewati badai dan guncangan
krisis ekonomi berkepanjangan. Pada pertengahan 1995 ia pernah berkata, bahwa
dunia sedang mengalami perubahan yang sangat cepat.
”Apabila kita berbicara tentang globalisasi kita sebenarnya didorong ke suatu
era yang lebih jauh lagi, yaitu era era globalisasi ditambah liberalisasi tanpa
batas negara. Semua itu terjadi karena dua faktor, yaitu revolusi teknologi
informasi dan revolusi mata uang,” kata Mochtar.
Menurutnya, sejarah manusia sudah mengalami beberapa kali perubahan cara hidup
karena penemuan-penemuan di bidang energi dan teknologi. Pada era 50-an,
khususnya di Amerika Serikat terjadi perubahan gaya hidup, yakni masyarakat
industri berubah menjadi masyarakat informasi. Akibat dari perubahan itu
Amerika harus memindahkan labour intensive industry-nya ke negara-negara lain
seperti Jerman Barat dan Jepang.
Tak lama Jepang pun mengalami hal yang sama sehingga harus memindahkan
industrinya ke Hong Kong, Singapura, Korea Selatan dan Taiwan. Dan ketika
negara-negara tersebut menjadi macan Asia, mereka pun mengalami perubahan
structural dalam masyarakatnya sehingga perlu memindahkan industrinya ke RRC
dan negara-negara ASEAN.
Perpindahan industri ini menimbulkan investasi silang antarbangsa dan
menimbulkan pula apa yang disebut dengan Asia-Euro-Dolar. Inilah era
globalisasi. Dengan era globalisasi sedemikian ini timbul suatu ketergantungan
antar suatu negara dengan negara lain. Kondisi tersebut meningkatkan hubungan
perekonomian dan perdagangan sehingga dibutuhkan peraturan permainan ekonomi
internasional.
Menurut catatan Mochtar, ada tiga perjanjian penting yang muncul pada 1994,
yaitu GATT, WTO, dan APEC. Kalau ketiga organisasi internasional ini
dihubungakan dengan organisasi lain seperti World Bank, IMF, ADB, Uni Eropa, AFTA,
dan NAFTA, maka akan semakin jelas kalau organisasi-organisasi international
ini semakin berperan penting menggantikan peranan pemerintah individu di dunia.
Di sinilah dunia akan memasuki era globalisasi tanpa batas negara (borderless).
Sementara itu pada saat yang bersamaan dunia sedang menyaksikan terjadinya
revolusi mata uang. Sebagai contoh, setiap hari terjadi transaksi foreign
exchange (forex) lebih dari US$800 miliar, tetapi hanya sekitar US$10 miliar
yang memiliki kaitan dengan fungsi alat pembayaran. Sisanya, 90,85 persen tidak
ada hubungannya dengan fungsi alat pembayaran, tetapi berhubungan dengan barang
dagangan. Kalau sudah menjadi barang dagangan tentu timbul pasar derivatif.
”Derivatif itu sifatnya spekulatif, sementara spekulatif itu adalah perjudian
(gambling). Dengan demikian timbullah suatu kasino yang besar dan kuat di
dunia. Sadar atau tidak sadar, senang atau tidak senang, siap atau tidak siap,
kita sudah terlibat di dalam perjudian setiap hari,” kata Mochtar yang pernah
menjadi Chairman Asian Banker Association pada 1992. Selanjutnya menurutnya,
jumlah transaksi yang begitu besar, sekalipun lima negara maju menggabungkan
forex reserve-nya tidak akan sanggup mengalahkan jumlah transaksi forex dalam
sehari. Ini berarti tidak ada
satu negara di dunia ini yang bisa memberikan counter exchange terhadap
spekulasi.
Dua revolusi, revolusi teknologi yang dicerminkan dengan sistem super highway
dan revolusi keuangan yang begitu cepat mutasinya membawa manusia kepada
situasi yang serba cepat, serba berubah, serba tidak mantap, dan serba tidak
pasti. ”Oleh karena itu, suatu bangsa atau suatu perusahaan harus memberikan
reaksi yang cepat, kalau tidak bangsa atau perusahaan itu akan menghadapi
masalah dan tekanan,” tegasnya.
BUMN Harus Lebih Berperan
Menurut Mochtar, yang mempunyai enam putra dan putri, untuk bisa bersaing di
era globalisasi pemerintah harus semakin meningkatkan produktivitas BUMN.
Dikatakan,
BUMN masih menguasai lebih dari 50 persen perekonomian nasional dan secara
tidak sadar menikmati oligopoli dan monopoli. Tidak ada jalan lain selain
membuat BUMN menjadi perusahaan yang efisien, menguntungkan, dan kalau perlu
bisa segera go public. Sebagai perbandingan, menurut Mochtar, di RRC lebih dari
50 BUMNtelah masuk ke pasar modal. Bagaimana dengan Indonesia?
Sekarang kita berada pada abad yang mementingkan perbandingan teknologi dan
mutu manusia. Itulah sebabnya ia sangat memperhatikan mutu pendidikan di
Indonesia. Mendirikan Sekolah Pelita Harapan dan Universitas Harapan adalah bagian
dari kepeduliannya terhadap dunia pendidikan nasional. Belum lama ini ia pun
ditunjuk menjadi Wali Amanah Universitas Indonesia.
Mochtar yang pernah mengenyam pendidikan di The Eastern College, Chung Yang
University, Nanking, RRC ini memiliki obsesi agar manusia Indonesia memiliki
kualitas yang setara dengan masyarakat maju lain hingga siap memasuki era
globalisasi.
Mochtar Riady, yang senang
membaca buku Peter Drucker dan Prof Freeman memperoleh gelar Doctor of Laws
dari Golden Gate University , San Francisco , Amerika Serikat dan pernah
menjadi pembicara tamu di Universitas Harvard pada pertengahan 1984. Pada saat
senggang, salah seorang filsuf Grup Lippo ini lebih senang melakukan perjalanan
ke sejumlah proyeknya.
Apa arti
globalisasi buat Lippo? Menurutnya, perusahaan dan para eksekutifnya harus
lebih cepat lagi mengantisipasi perubahan yang sangat cepat ini. Itulah
sebabnya ia sangat hati-hati memilih orang-orang yang akan menduduki posisi
Chief Executive Officer-nya. ►e-ti/tsl
Tidak ada komentar:
Posting Komentar