Nama:
Jaya Suprana
Lahir:
Isteri:
Julia Suprana
Ayah:
Lambang Suprana
Ibu:
Lily Suprana
Pendidikan:
Lulusan Musikhochschule Muenster dan Folkwanghochschule Essen,
Jerman
Seni musik: Freundeskreis des Konservatoriums Muenster, Jerman,
dan dari Pangeran Bernhard, Belanda.
Kebudayaan: Budaya Bhakti Upapradana
Komputer, Best in Personal Computing Award 1995 dari Apple Macintosh Inc.
Industri-bisnis: The Best Executive Award 1998
Prestasi perusahaan: Trade Leader's Club, Madrid, dan Institut pour Selection
de la Qualite, Belgia)
Lingkungan hidup: Sahwali Award 1997
Kemanusiaan: Duta Kemanusiaan 1991-1992 Palang Merah Indonesia
Tokoh Humor Nasional 1996, pilihan pembaca majalah Humor
Sumber:
Kompas, Kompas Cyber Media, Intisari
Jaya Suprana
Si Multitalent
Pencetus Kelirumologi
Jaya Suprana, orang Tionghoa yang besar dalam budaya Jawa. Pria bertubuh tambun
dan berkacamata tebal yang lahir di Bali, Denpasar, 27 Januari 1949 ini akrab
di hadapan publik lewat acara televisi Jaya Suprana Show di TPI. Pendiri Museum
Rekor MURI dan pencetus kelirumologi ini mempunyai beragam predikat – mulai
dari pengusaha, pembicara, presenter, penulis, kartunis, pemain piano hingga
pencipta lagu – yang diakui oleh lembaga tingkat dunia seperti Die Welt, Los
Angeles Times, The Guardian, Wall Street Journal, dan Straits Time.
Semasa muda, Jaya pernah menjadi pedagang buku bekas di Semarang pada tahun 65-an. Bahkan ketika
sekolah di Jerman ia tak sungkan menjadi tukang bubut, tukang pasang ubin, atau
menjadi pegawai kafetaria mahasiswa. Sepulang belajar di Jerman ia sempat
menjadi Manajer Pemasaran Jamu Jago, sebelum naik jabatan sebagai presiden
direktur.
Setelah sekitar delapan tahun
menjadi direktur di perusahaan jamu yang diwarisinya dari keluarga - yang
berdiri sejak tahun 1918 - Jaya beralih ke posisi presiden komisaris. Kini, tugasnya hanya
mengarahkan GBHP (Garis Besar Haluan Perusahaan) dan mengawasi kinerja
perusahaannya.
Dalam berbagai kesempatan, Jaya selalu muncul bersama tokoh-tokoh politik kelas
wahid di negeri ini. Meskipun begitu, Jaya tidak tertarik pada urusan politik.
Di samping itu, ayahnya juga pernah berpesan agar Jaya tidak terjun ke dunia
politik karena politik pada prakteknya justru sering menjadi berhala dan
menguasai makhluk tertinggi ciptaan Tuhan itu.
Pada 27 Januari 1990, ia mendirikan Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai
bagian dari visi ke depannya untuk menghimpun semua prestasi, perilaku, dan
kegiatan yang unik, langka, dan kreatif. Museum yang selokasi dengan Museum
Jamu Jago ini sudah menjadi objek wisata resmi Kota Semarang, Jawa Tengah.
Sebagai seorang pemikir dan penulis, Jaya mengobok-obok berbagai literatur dan
media untuk mempelajari kekeliruan dan kesalahkaprahan yang telah dilakukan
orang dalam kehidupan sehari-hari. Hingga akhirnya, ia memelopori istilah
kelirumologi dan melahirkan buku berjudul Kaleidoskopi Kelirumologi, yang
mengajak pembaca untuk lebih peka terhadap hal-hal yang dianggap benar padahal
salah di tengah-tengah masyarakat. Misalkan saja, semboyan yang dipercaya
masyarakat - mens sana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa
yang sehat). Jaya mengatakan
bahwa di dalam tubuh yang sehat, belum tentu hadir jiwa yang sehat. Jaya
memberi contoh Mike Tyson atau penghuni Rumah Sakit Jiwa, bertubuh sehat tapi
jiwanya sakit.
Berkat kerja keras dan ketekunannya, ia memperoleh puluhan penghargaan nasional
maupun internasional dalam bidang seni musik (dari Freundeskreis des
Konservatoriums Muenster, Jerman, dan dari Pangeran Bernhard, Belanda),
kebudayaan (Budaya Bhakti Upapradana), komputer (Best in Personal Computing
Award 1995 dari Apple Macintosh Inc.), industri-bisnis (The Best Executive
Award 1998), prestasi perusahaan (Trade Leader's Club, Madrid, dan Institut
pour Selection de la Qualite, Belgia), lingkungan hidup (Sahwali Award 1997),
kemanusiaan (Duta Kemanusiaan 1991 - 1992 Palang Merah Indonesia), dan
lain-lain.
Sebagai kartunis, lulusan Musikhochschule Muenster dan Folkwanghochschule
Essen, Jerman ini telah menggelarkan karyanya di Jerman, Norwegia, dan Indonesia
sendiri. Sedangkan untuk urusan musik, selama ini Jaya dikenal sebagai komponis
dan pianis andal yang sudah tampil di berbagai negara di Eropa, Amerika,
Aljazair, Selandia Baru, dan lain-lain.
Pendidikan musik
yang ditekuninya selama lima tahun membuat Jaya mampu melahirkan karya-karyanya
sendiri. Ia tampil pertama kali dalam resital piano tunggal tahun 1981 di Taman
Ismail Marzuki. Penampilan keduanya digelar di Erasmus Huis untuk merayakan 50
tahun usia Yayasan Pendidikan Musik (YPM). Di bidang kemanusiaan, ia ikut memelopori program
donor ginjal jenazah di Indonesia .
Pada pertengahan 2003 lalu, Jaya memelopori iklan layanan masyarakat ‘Indonesia
Pusaka’ dan membuat program berdurasi 60 menit ‘Di Balik Adegan Indonesia
Pusaka’ yang ditayangkan di TPI di rumah produksi Jatayu Cakrawala Film.
Iklan layanan masyarakat ‘Indonesia Pusaka’ yang dibuat dalam rangka menyambut
Satu Abad Bung Hatta ini merekam lebih dari 20 figur, sebagian tokoh ternama,
menyanyikan lagu kesayangan Bung Hatta, yakni Indonesia Pusaka ciptaan Ismail
Marzuki. Tokoh-tokoh ternama yang berhasil ‘dikumpulkan’ oleh Jaya antara lain
Presiden Megawati Soekarnoputri, mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Ketua MPR
Amien Rais, dan sejumlah menteri dan mantan menteri.
Sementara dari nonpejabat ada
artis Nurul Arifin, Marisa Haque, peharpa Maya Hasan, violis Idris Sardi, Ketua
Persatuan Tukang Becak Jakarta, dan seorang wanita pemulung. Termasuk juga
putri Bung Hatta, yakni Halida dan Gemala. Waktu itu, pada setiap sesi rekaman
masing-masing tokoh, Jaya sibuk pula berfungsi sebagai pelatih menyanyi kilat,
konduktor, penata musik, sekaligus editor.
Kini, di usianya yang semakin senja, tanpa seorang anak, Jaya tetap berkarya,
berbuat kebaikan dan suka memberi. Ia mengangkat anak asuh dan mendirikan Panti Asuhan
Rotary-Suprana. Di atas tanah warisan almarhumah ibunya, Lily Suprana, seluas
900 m2 di kawasan Candi Baru, Semarang, kini tinggal sekitar 10 orang anak.
Semuanya lelaki. Perkembangan panti yang biaya operasionalnya didukung bersama
dengan Yayasan Rotary ini memang bagus karena kebanyakan anak asuhnya
memperoleh ranking di kelasnya masing-masing. Bahkan bagi anak yang mendapat
rangking 1 diberikan hadiah atas prestasinya itu.
Sifat suka memberi tidak lepas dari didikan keras sang ayah, Lambang Suprana,
yang mengajarnya untuk tidak memberhalakan kekayaan dan sadar bahwa harkat dan
martabat manusia bukan diukur dari kekayaan harta bendanya, namun dari kekayaan
akhlak dan imannya. Itulah mengapa, Jaya tidak ambil pusing tentang masa
tuanya, karena ia tinggal ‘menunggu mati’ saja dan siap pergi ke surga.
Mengenai kesuksesan yang diperolehnya, Jaya mempunyai pandangan sendiri.
Menurutnya, kesuksesan baginya belum tentu kesuksesan bagi orang lain. Ia
menganalogikannya dengan olahraga lari. Baginya, ia sudah termasuk sukses mampu
berlari 100m dalam waktu 10 menit, namun bagi Carl Lewis itu merupakan prestasi
memalukan. Oleh karena itu, Jaya mengatakan bahwa yang penting bukan merasa
sukses, melainkan mensyukuri hasil karya yang telah ia perjuangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar