Nama
Ir. Ciputra
Pekerjaan
Pengusaha
Kegiatan lain
Ketua Umum Ayub
Keran KPR yang mulai mengucur, membuat aktivitas PT Ciputra Development
terdengar lagi. Kelompok usaha ini semakin giat beriklan. Akankah Ciputra segera berjaya
kembali? Akibat krisis ekonomi yang melanda negeri ini, sebagaimana kebanyakan
pengusaha properti lainnya, Ciputra pun harus melewati masa krisis dengan
kepahitan. Padahal, serangkaian langkah penghematan telah dilakukan. Grup
Ciputa (GC), misalnya, terpaksa harus memangkas 7 ribu karyawannya, dan yang
tersisa cuma sekitar 35%.
Lantas, semua departemen
perencanaan di masing-masing anak perusahaan segera ditutup dan digantikan satu
design center yang bertugas memberikan servis desain kepada seluruh proyek.
Jenjang komando 9 tingkat pun dipotong menjadi 5. Akibatnya, banyak manajer
kehilangan pekerjaan. Lebih pahit lagi: kantor pusat GC yang semula berada di
Gedung Jaya, Thamrin, Jakarta Pusat, terpaksa pindah ke Jl. Satrio -- kompleks
perkantoran milik GC. Paling tidak, dengan cara semacam itu, GC bisa menghemat
Rp 4 miliar/tahun.
Sementara Harun dan tim keuangannya -- setelah susut menjadi 7 orang dan
gajinya dipotong hingga 40% -- hengkang ke salah satu lantai Hotel Ciputra,
Grogol, Jakarta Barat. Di tempat itu, mereka menyewa beberapa ruangan.
Selebihnya, kabar yang menjadi rahasia umum: utang GC macet total.
Menurut Harun, para petinggi CD waktu itu sadar betul kondisi yang ada tidak
bakalan berubah secepat yang dibayangkan. Soalnya, berlalunya krisis moneter
yang belakangan bermetamorfosis menjadi krisis multidimensional sejatinya
berada di luar kendali mereka. Celah yang masih terbuka hanyalah konsolidasi internal
dan restrukturisasi perusahaan.
Maka, selain memangkas biaya operasional secara drastis, CD pun segera
menerapkan strategi pemasaran baru: menjual kapling siap bangun. Kata Harun,
selain CD kala itu hanya menyimpan sedikit stok rumah siap huni, perubahan
strategi pemasaran ini juga dilakukan untuk membidik konsumen berkantong tebal.
Maklumlah, mengharapkan KPR ibarat pungguk merindukan bulan. Adapun yang
tersisa, ya itu tadi, pasar kalangan kelas menengah-atas. Mereka biasanya lebih
suka membeli kapling karena dapat menentukan sendiri desain rumahnya.
Keuntungan lain menjual kapling tanah: berkurangnya biaya operasional. Masih
menurut Harun, dengan menjual kapling siap bangun, CD cuma berkewajiban
menyediakan infrastruktur seperti telepon, air, listrik dan jalan. Memang,
ketimbang membangun rumah siap huni, biaya penyediaan infrastruktur relatif
jauh lebih murah. Dalam perhitungan Harun, biaya yang dikeluarkan per m2-nya
cuma Rp 90 ribu.
Sementara itu, bila membangun rumah siap huni, CD mesti siap menerima kenyataan
jika harga bahan-bahan bangunan meningkat pesat. Besi, misalnya. Setelah kurs
rupiah terhadap US$, harganya naik 60%. Sementara semen dan keramik,
masing-masing meningkat menjadi 40% dan 30%. Jadi, "Tak ada alasan tidak
menerapkan strategi itu," ujar Harun. Kebijakan itu berlaku di Jakarta dan di Surabaya .
Guna mendukung strategi di atas, program-program above the line juga tak luput
dikoreksi. Hasilnya, dari monitoring yang dilakukan, para petinggi CD akhirnya
berkesimpulan, mubazir bila beriklan gencar di masa krisis. "Seperti membunuh
tikus dengan memakai bom," jelas Harun. Alhasil, pilihan kemudian jatuh
pada penjualan langsung. Bahannya diolah dari database konsumen milik CD. Dan
supaya lebih terarah, database diolah lewat pembentukan klub-klub penjualan, di
Jakarta maupun Surabaya.
Namun, apa daya, meski harga kapling siap bangun belum dinaikkan dan tim
pemasaran bekerja sekeras mungkin, toh strategi itu tidak langsung membuahkan
hasil yang memuaskan. Lebih dari Tiga bulan, konsumen yang tertarik dengan
ratusan hektare tanah matang milik CD yang dijual dalam bentuk kapling siap
bangun -- dari total 1.800 har landbank (tanah mentah) CD yang tersebar di
Jakarta dan Surabaya -- bisa dihitung dengan jari.
Kata Harun, petinggi CD lagi-lagi sadar para pemilik uang sesungguhnya lebih
memilih mendepositokan uangnya ketimbang membeli kaping siap bangun. Maka,
"Tahun 1998 adalah tahun yang paling sulit yang pernah dilalui CD,"
kenangnya. Masalahnya, uang yang masuk selama setahun cuma Rp 40 miliar.
Itulah nilai total hasil penjualan lima proyek perumahan di Jakarta dan
Surabaya milik CD. Jelas, ketimbang tahun-tahun sebelumnya, saat kondisi
ekonomi masih normal, kenyataan tersebut benar-benar menyakitkan. Sebelum
krisis, dari satu proyek saja, CD bisa meraup uang sebanyak Rp 10 miliar/bulan.
Artinya, angka Rp 40 miliar tersebut biasanya dicapai hanya dalam sebulan.
Yang lebih menyesakkan, menurut sumber SWA, Pak Ci ikut-ikutan menambah beban
psikologis pasukannya. Hampir setiap hari CEO GC itu uring-uringan tanpa sebab
yang jelas. Seingatnya,waktu itu Pak Ci jarang bertanya kepada anak buahnya
bagaimana sebenarnya kondisi di lapangan. "Ia malah seperti tak
habis-habisnya melakukan pressure kepada timnya," jelas si sumber.
Dan lucunya lagi, bahkan di luar dugaan banyak orang -- sang sumber sendiri kaget
luar biasa -- Pak Ci sampai-sampai "menodong" seorang pemuka agama
agar jemaat gerejanya membeli kapling siap bangun di salah satu proyek
perumahan CD. "Benar-benar tidak masuk akal," ungkap sumber.
Benarkah? "Bohong. Kalau stres, siapa yang tidak stres waktu itu,"
bantah Harun.
Untunglah, bersamaan turunnya suku bunga deposito di awal 1999, strategi itu
mulai menampakkan hasil. Kecil memang, tapi, "Kami sudah mulai
sibuk," ujar Harun. Ia menunjuk aktivitas penjualan kapling siap bangun,
khususnya yang di Surabaya. "Di kota ini, penjualannya cukup bagus."
Sayang, Harun tak bersedia menyebutkan nilai transaksi di Kota Buaya. Yang
jelas, tidak seperti di Jakarta, jumlah item kapling siap bangun yang
ditawarkan CD di Surabaya lumayan variatif. Dari segi luas contohnya, 1.200-2.000 m2 dengan harga
jual minimal: Rp 600 ribu/meter2. Selain itu, ada pula kapling golf --
posisinya berhadapan atau di sekitar lapangan golf. "Kapling jenis ini,
sekalipun lebih mahal, tampak paling disukai," jelas Harun.
Bagaimana dengan Jakarta? Kendati kapling yang dijual hanya berukuran 200-500
m2, angka penjualannya tidak sebagus di Surabaya. Dan kapling yang disukai
konsumen kebanyakan yang berukuran 400 m2 seharga Rp 225-500 ribu/m2. Menurut
Harun, hal itu terjadi karena tingkat persaingan di Jakarta lebih ketat
ketimbang di Surabaya. Soalnya, "Ada banyak proyek serupa di sini,"
ujarnya. Dan, yang lebih penting, kapling golf bukanlah hal yang istimewa bagi
banyak konsumen metropolitan. "Jadi, penawaran kami sama seperti yang
lain. Karena itu pula, bisa jadi konsumen mencari yang lebih murah."
Seperti yang sudah-sudah, tutur menantu Ciputra itu, kebutuhan konsumen di
Jakarta sejatinya adalah rumah siap huni yang dilengkapi fasilitas KPR. Karena
itu, bermodalkan pendapatan hasil penjualan kapling siap bangun plus
tersedianya sarana KPR, CD pun mulai menggiatkan pembangunan rumah siap huni,
di Citra Raya Tangerang, Citra Indah Jonggol, Citra Grand Cibubur ataupun Citra
Cengkareng.
Bersamaan waktunya, CD pun kembali rajin beriklan. Namun, tidak seperti tiga
tahun lalu, kini belanja iklannya diatur ketat. Indikator pertama yang dihitung
sebelum mengeluarkan uang untuk berpromosi di berbagai media cetak adalah
jumlah total hari libur dalam setiap bulan. Yang jelas, sebulan CD beriklan tak
lebih dari tiga kali. "Bukan apa-apa. Kami hanya ingin iklan itu bisa
efektif mencapai sasaran," katanya. Ia menambahkan, klub-klub penjualan
yang dulu sempat dibentuk tetap diteruskan.
Hanya saja, lagi-lagi sayang, Harun mengaku tidak ingat persis jumlah uang yang
masuk ke kocek CD setelah perusahaan properti yang dipimpinnya itu kembali
rajin beriklan. Ia hanya mengatakan, "Cash flow kami cukup aman."
Ditambah semakin membaiknya daya beli konsumen, Harun pun optimistis, CD dan GC
bisa berkibar kembali. Namun,
tentu saja, ia mengaku, "Tidak seperti dulu lagi."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar